Salah satu Sumber Hukum Islam
IJMA'
A.
Pengertian
Ijma’
Ijma' secara bahasa : (ﻕﺎﻔﺗﻻﺍﻭ
ﻡﺰﻌﻟﺍ) “Niat yang kuat dan Kesepakatan.”
Dan secara istilah :
Menurut
Jumhur Ulama’, Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin
yang disesuaikan dengan masa setelah nabi wafat.
Menurut
Ulama Ushul Fiqih, Ijma’ adalah ketetapan banyak ijtihad muslimin
dalam menetapkan hukum syar’i pada masa setelah wafat rasulullah.
Menurut
Imam Al-Ghazali, Ijma’ adalah ketetapan umat Muhammad secara khusus
dalam masalah agama.
Maka keluar dari perkataan kami : (اتفاق) “kesepakatan”
: adanya khilaf walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai
ijma’.
Dan keluar dari perkataan kami : (مجتهدي) “Para
mujtahid” : Orang awam dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan
khilaf mereka tidak dianggap.
Dan keluar dari perkataan kami : (هذه
الأمة) “Ummat
ini” : Ijma’ selain mereka (ummat Islam), maka ijma’ selain mereka tidak
dianggap.
Dan keluar dari perkataan kami : (بعد
النبي صلّى الله عليه وسلّم) “Setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
: Kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka tidak dianggap sebagai ijma’ dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena
dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik
dari perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena
itu jika seorang sahabat berkata : “Dahulu kami melakukan”, atau “Dahulu mereka
melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “,
maka hal itu marfu’ secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma’.
Dan keluar dari perkataan kami : (على
حكم شرعي)
“terhadap hukum syar’i” : Kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum
kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah
ijma’ adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar’i.
Jadi dari definisi-definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah Kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa
setelah wafatnya Nabi Shallaullahu
'alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar'i mengenai suatu
peristiwa.
B.
Sebab
Ijma’ menjadi hujjah
Ada
beberapa pendapat para ulama berkaitan dengan ke-hujjah-an ijma’.
Al-Bardawi berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarah-nya
dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut
Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma’
sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan
Syi’ah, Khawarij, dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib
berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam,
Khawarij, dan Syi’ah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah.
Sedangkan dalam kitab Qawa’idul Ushul
dan Ma’aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma’ itu hujjah pada setiap masa. Namun, pendapat itu ditentang oleh Daud
yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya
terjadi pada masa sahabat.
Ijma'
umat atas sesuatu bisa jadi benar dan
bisa jadi salah, jika benar
maka ia adalah
hujjah, dan jika salah maka bagaimana mungkin umat yang merupakan umat
yang paling mulia disisi Allah sejak zaman Nabinya sampai hari kiamat
bersepakat terhadap suatu perkara yang batil
yang tidak diridhoi oleh Allah? Ini merupakan
suatu kemustahilan yang paling besar.
Kehujjahan
ijma’ juga berkaitan dengan jenis ijma’ itu sendiri, yaitu sharih dan sukuti.
1.
Jumhur telah sepakat
bahwa ijma’ sharih merupakan hujjah
secara qath’i, wajib mengamalkannya
dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’
pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi masalah yang tidak
boleh di-ijtihadi lagi.
Adapun
ijma’ dikatakan hujjah, sebagaimana halnya Allah ta’ala memerintahkan kepada kaum
muslimin untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, juga memerintahkan untuk menaati
para pemimpin mereka yang berkuasa, yaitu dalam firman-Nya:
Pertama:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$# Í<'ré&ur
ÍöDF{$# óOä3ZÏB
(
bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx« çnrãsù
n<Î)
«!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs
×öyz ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(An-Nisa:
59)
Lafazh “amri” (urusan)
mencakup kepada urusan agama dan keduniaan dan lafazh “ulil amri” (pemegang urusan) mencakup kepada pemegang urusan
duniawi, seperti kepala Negara, anggota perwakilan rakyat, para menteri dan
lain sebagainya dan mencakup pemegang urusan din (agama), seperti para mujtahid, para mufti dan para ulama.
Ayat di atas adalah bahwa
adanya pertentangan merupakan syarat dikembalikannya permasalahan kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dengan demikian, syarat tersebut tidak akan ada bila telah
terjadi kesepakatan terhadap hukum yang diambil dari Kitab dan Sunnah. Oleh
sebab itu tidak diragukan lagi bahwa ijma’
itu merupakan hujjah.
Adapun firman Allah
yang kedua yaitu:
#sÎ)ur
öNèduä!%y` ÖøBr& z`ÏiB
Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sr& ¾ÏmÎ/
(
öqs9ur çnru
n<Î)
ÉAqߧ9$# #n<Î)ur
Í<'ré&
ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$#
¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3
wöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øn=tã ¼çmçGuH÷quur
ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sÜø¤±9$# wÎ) WxÎ=s%
ÇÑÌÈ
Artinya:
“Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri)[323].
kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”.
[322] ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para
cendekiawan di antara mereka.
[323] menurut
Mufassirin yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan
ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil
amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat)
dari berita itu.
Dalam ayat lain, Tuhan
mengancam orang yang melawan Rasul dan menjalani jalan yang nukan jalan
orang-orang mukmin sebagai orang-orang yang tersesat dan akan dimasukkan ke
dalam neraka jahannam, dalam firman-Nya:
`tBur
È,Ï%$t±ç
tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB
tû¨üt6s? ã&s!
3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uöxî È@Î6y
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
¾Ï&Îk!uqçR $tB
4¯<uqs?
¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_ (
ôNuä!$yur #·ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
Artinya:
“Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa : 115)
Ayat ini menunjukan
bahwa jalan oaring-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram
diikuti. Sebaliknya jalan orang-orang mukmin adalah hak dan wajib diikuti. Allah
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Masih banyak lagi
firman-firman Allah yang berkaitan dengan kehujjahan
ijma’ yang digunakan oleh jumhur
ulama, misalnya dalam surat Al-Baqarah
ayat 143, Ali-Imran ayat 103 dan 110, serta surat An-Nisa’ ayat 48.
Kedua:
Bahwa hukum yang telah
mendapatkan perspakatan dari seluruh mujtahid muslimin pada hakikatnya adalah
hokum umat Islam seluruh dunia yang tercermin pada para mujtahid.
Banyak hadis-hadis yang
menunjukan terpeliharanya umat Islam dari kesalahan bila bersepakat dalam suatu
perkara, diantaranya hadis-hadis di bawah ini yang artinya:
§
“Kekuatan Allah berada pada jama’ah, barang siapa menguatkannya, maka ia
telah menyempitkan dirinya dari neraka.”
§ “Sesungguhnya Allah
tidak mengumpulkannya ijma’ dalam kesesatan.”
§ “Tidak akan berkumpul
ijma’ pada hal yang salah.” (Rw. Ibnu Majah)
§ “Tidak akan melihat
kaum mukmin kepada kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya baik.”
(Rw. Ahmad)
Semua hadis di atas
diriwayatkan oleh para perawi tsiqat,
meskipun ada sebagian yang meerupakan hadis ahad,
namun bisa dikategorikan hadis mutawatir,
yakni menjaga ijma’ Islam dari
kesalahan. Sedangkan mutawatir ma’nawy
pada hakikatnya sama dengan mutawatir
lafdzi.
Ketiga:
Ijma’ terhadap hukum
syara’ harus dibina di atas sandaran syari’at. Sebab setiap mujtahid muslim
terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampauinya. Jelasnya, jika
di dalam menjalankan ijtihad dia mendapati suatu nash, maka ijtihadnya tidak boleh
melampaui pemahaman nash itu dan dia harus mengetahui benar-benar apa yang
ditunjuknya. Akan tetapi, jika dalam kejadian yang di ijtihadkan tidak ada
nash-nya, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui cara pengistimbatan (pemetikan)
suatu hukum. Ia dituntut untuk mengqiyaskannya kepada yang ada nash-nya atau
menyesuaikannya dengan kaidah-kaidah syari’ah dan dasar-dasar hukum umum atau
dengan menggunakan dalil-dalil yang ditegakkan oleh syari’at, seperti istihsan,
istishhab, memelihara ‘uruf dan Mashalihul mursalah.
Apabila ijtihad seorang
mujtahid itu harus disandarkan kepada dalil syar’i, maka persetujuan seluruh
mujtahid terhadap suatu macam hukum dari
suatu peristiwa adalah merupakan suatu bukti adanya sandaran syari’at yang
menunjuk secara qath’i atas hukumnya. Sebab andai kata yang mereka jadikan
sandaran itu dalil-dalil zhanni, niscaya mustahillah menurut adat tercapai
suatu persepakatan.
2.
Ijma’
sukuti telah dipertentangkan ke-hujjah-annya dikalangan para ulama.
Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’
sukuti sebagai hujjah, bahkan
tidak menyatakan sebagai ijma’. Di
antara mereka adalah para pengikut
Maliki dan Imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai
pendapatnya.
Mereka beragumen bahwa
diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga
tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah
atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap
mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau zhanni. Jika
demikian itu adanya, tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh
mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’
atau dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan
Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah
yang qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap
pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya. Bila memenuhi
persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa
dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan
sebagai ijma’, karena kesepakatan
mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.
Al-Kurhi dari golongan
Hanafi dan Al-Amidi dari golongan Syafi’i menyatakan bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah
yang bersifat zhanni. Pendapat
merekalah yang kita anggap baik. Karena diamnya sebagian mujtahid untuk
menyatakan pendapatnya kalau memenuhi syarat ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan terhadap para
mujtahid lainnya. Tetapi boleh dikatakan bahwa diamnya mereka itu antara
menyepakati dan tidak. Sikap tersebut sebagai mana telah dilakukan oleh kaum
ulama Salaf. Mereka tidak melarang untuk menyatakan haq meskipun tidak mampu melaksanakan dan ada sebagian yang
mengingkarinya.
Bila diamnya sebagian
mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai ketetapan qath’i, tetapi zhanni,
maka ke-hujjah-an ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan qath’i, melainkan zhanni.
C.
Alasan
Sebagian Ulama Berpendapat bahwa Ijma’
bukan Hujjah
Al-Nazham,
sebagian Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ bukan hujjah,
dengan alasan:
a.
Setiap individu
mujtahid itu mungkin saja tersalah dan hal ini bisa juga terjadi dalam jama’ah
mereka. Penggabungan satu dengan lainnya yang mungkin tersalah itu tidak
mustahil memungkinkan menjadikan mereka menjadi salah juga.
b.
Firman Allah yang
memerintahkan taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri itu menunjukan bahwa
adanya perintah pengembalian urusan yang disengketakan kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah. Karena itu, jika fuqaha generasi sesudahnya, maka wajib
mengembalikan permasalahannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulnya. Oleh
karena itu, ijma’ generasi terdahulu
itu, tidak menjadi hujjah terhadap
genarasi sesudahnya. Karena itu pula argumentasi Jumhur tentang kehujjahan ijma’ dengan ayat ini dan
bahwa kesepakatan itu tidak perlu kembali kepada Kitab dan Sunnah adalah tidak
benar karena adakalanya kesepakatan mujtahid itu terjadi dalam hukum yang
mereka perselisihkan, sehingga mau tidak mau harus dikembalikan kepada Kitab
dan Sunnah.
c.
Mu’az bin Jabal ketika
diutus Rasulullah ke Yaman tidak menyebutkan ijma’ diantara dalil-dalil tempat
rujuknya dalam memutuskan hukum, sementara pernyataan Mu’az itu diakui oleh
Rasul. Yang demikian menunjukan bahwa ijma’
bukan menjadi hujjah.
Selanjutnya, mereka
menolak semua argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama, dengan alasan
sebagai berikut:
a)
Firman Allah dalam
surat An-Nisa’ ayat 115 yang artinya;
“….Dan mengikuti jalan yang jalan bukan orang
mukmin….”
Bahwa yang dimaksud
dengan “bukan jalan orang mukmin itu seperti yang dikatakan oleh Ibn Hazmin,
ialah tidak menaati Al-Qur’an dan Sunnah yang sah dari Rasul.” Jadi, ia tidak
menunjukan tentang kehujjahan ijma.’
b)
Semua hadis yang
dipegang oleh Jumhur itu adalah hadis ahad
yang tidak menghasilkan keyakinan tentang kehujjahan
ijma’. Sekiranya diterima atas dasar mutawatir
maknanya, maka ia ditempatkan untuk terpeliharanya umat dari kesalahan dan
kesesatan dalam menyepakati kekufuran dan menyalahi dalil qath’i saja. Hal ini mengingat bahwa terdapat hadis Nabi yang
menunjukan bahwa kesalahan itu bisa terjadi dalam umat, yaitu sabda Nabi SAW
yang artinya:
“Sesungguhnya Allah
tidak mencabut ilmu itu dengan mencabutnya dari para hamba, tetapi Ia mencabut
melalui kematian Ulama, sehingga bila tidak ada lagii orang alim, maka manusia
pun mengangkat orang jahil menjadi pemimpinnya. Mereka bertanya dan si pemimpin
pun memberika fatwa tanpa pengetahuan, yang akibatnya mereka menjadi sesat dan
si pemimpin merupakan pembuat (pokok pangkal timbulnya )kesesatan.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya, semua
dalil/argumentasi Jumhur tentang kehujjahan
ijma’ tidak satupun yang qath’i
dilalahnya, karena baik ayat maupun hadis tidak qath’i dilalahnya terhadap kehujjahan
ijma’ dan tidak pula secara tegas
tentang itu.
Asy-Syaukani
berkomentar bahwa suatu keanehan di kalangan fuqaha bila mereka menetapkan kehujjahan
ijma’ dengan keumuman (zhanni) ayat dan hadis, lalu mereka
ijma’ bahwa orang yang mengingkari terhadap apa yang dicakup keumuman tersebut
tidak kafir dan tidak pula fasik bilamana keingkaran itu memepunyai ta’wil.
Kemudian mereka mengatakan bahwa hukum yang disimpulkan ijma’ adalah qath’i yang
mengakibatkan kafir dan fasiknya orang yang menyalahi ijma’ itu. Seolah-olah mereka menempatkan yang cabang lebih utama
daripada yang pokok.
D.
Syarat-syarat
Ijma’ dikatakan Hujjah
Ijma’ dikatakan Hujjah apa bila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1.
Kata sepakat terhadap
suatu pendapat telah dicapai oleh dari umat islam. Jika yang sepakat itu bukan
para mujtahid, misalnya para ekonomi, maka kesepakatan mereka itu bukan ijma’.
2.
Seluruh mujtahidin dari
umat Islam telah mencapai kata sepakat terhadap suatu pendapat. Oleh sebab itu
bila yang sepakat hanya mujtahid dari suatu kelompok umat Islam, atau dari
suatu wilayah atau satu Negara Islam saja, maka kesepakatan mereka bukan ijma’. Jika demikian jika masih ada
sebagian mujtahidin yang tidak sepakat, maka tidak terjadi pula ijma’, namun ada sebagian pendapat ulama
yang menyatakan bahwa ijma’ terjadi
dengan kesepakatan mayoritas mujtahidin walaupun ada sebagian kecil yang
menentangnya.
3.
Bahwa yang disepakati
oleh para mujtahidin ialah hukum syara’
mengenai masalah ijtihadiyah, seperti
halal dan haramnya sesuatu atau sah dan batalnya sesuatu. Dengan demikian, jika
yang mereka sepakati itu bukan hukum agama seperti hukum ekonomi misalnya, atau
hukum agama tetapi bukan masalah ijtihadiyah
seperti hal ihwal akhirat atau hukum
agama tentang masalah ijtihadiyah
tetapi hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i, maka kesepakatan mereka tentang masalah-masalah tersebut
diatas tidaklah disebut ijma’.
4.
Ijma’
hanya terjadi sesudah Nabi wafat, karena pada waktu Nabi masih hidup, jika Nabi
menyetujui apa yang mereka sepakati, maka persetujuan mereka Nabi itu menjadi sunah taqririyah.
0 komentar: