Nabi Muhammad sebagai Rahmatan Lil Alamin
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Q.S Al- Anbiya’: 107
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya
“Dan tiadalah kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
.
v
Tafsir Mufradat:
Menurut Ibnu Mandzur. secara bahasa
arab, ptHôqy
artinya ar-rifqu wa ath-tha’athuf; kelembutan yang berpadu dengan rasa
iba. Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang.
Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah
bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim berpendapat bahwa: “Pendapat
yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa ptHôqy
di sini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama:
Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam. Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala
tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi.
Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam.
Kedua:
Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima
rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang
kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi
mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah
obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut
tetaplah dikatakan obat”.
Dari kedua pendapat diatas, dapatlah dikatakan bahwa
rahmat disini adalah Nabi Muhammad saw yang diutus oleh Oleh Allah sebagai pimpinan,
pedoman bagi umat Islam agar bahagia dunia akhirat.
v Isi Kandungan Ayat:
Tujuan
Allah SWT mengutus Nabi Muhammad yang membawa agama-Nya itu, tidak lain
hanyalah agar mereka berbahagia di dunia dan di akhirat. Orang-orang yang beriman dan mengikuti
petunjuk agama itu akan memperoleh rahmat dan Allah berupa rezeki dan karunia
di dunia dan di akhirat nanti mereka akan memperoleh rahmat berupa surga yang
disediakan Allah bagi mereka. Sedang orang-orang yang tidak beriman akan
memperoleh rahmat pula, karena dengan cara yang tidak langsung mereka mengikuti
sebagian ajaran-ajaran agama itu, sehingga mereka memperoleh kebahagiaan hidup
di dunia.
Jika
dilihat sejarah manusia dan kemanusiaan, maka agama Islam adalah agama yang
berusaha sekuat tenaga menghapuskan perbudakan dan penindasan oleh manusia
terhadap manusia yang lain. Seandainya dibuka pintu perbudakan hanyalah sekadar
untuk mengimbangi perbuatan orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin itu.
Sedangkan jalan-jalan untuk menghapuskan perbudakan dibuat sebanyak-banyaknya.
Demikian
pula prinsip-prinsip musyawarah yang ditetapkan agama Islam lebih tinggi
nilainya dari prinsip-prinsip demokrasi yang selalu diagung-agungkan. Perbaikan
tentang kedudukan wanita yang waktu itu hampir sama dengan binatang, dan
pengakuan terhadap kedudukan anak yatim, perhatian terhadap fakir dan miskin,
pemerintah melakukan jihad untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan, semuanya
diajarkan oleh Alquran dan Hadis, kemudian dijadikan sebagai dasar perjuangan
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan
demikian seluruh umat manusia memperoleh rahmat, baik yang langsung atau tidak
langsung dari agama yang dibawa Muhammad. Tetapi kebanyakan manusia masih
mengingkari padahal rahmat yang mereka peroleh itu adalah rahmat dan nikmat
Allah SWT.
2.
Q.S.
Al-Baqarah : 60
* ÏÎ)ur 4s+ó¡oKó$# 4yqãB ¾ÏmÏBöqs)Ï9 $oYù=à)sù >ÎôÑ$# $|ÁyèÎn/ tyfyÛø9$# ( ôNtyfxÿR$$sù çm÷ZÏB $tFt^øO$# nouô³tã $YZøtã ( ôs% zOÎ=tã @à2 <¨$tRé& óOßgt/uô³¨B ( (#qè=à2 (#qç/uõ°$#ur `ÏB É-øÍh «!$# wur (#öqsW÷ès? Îû ÇÚöF{$# tûïÏÅ¡øÿãB ÇÏÉÈ
Artinya:
“Dan
(Ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu kami berfirman:
"Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya
dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku Telah mengetahui tempat minumnya
(masing-masing). makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah
kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”.
v
Tafsir
Mufrodat:
Menurut Ahmad Musthafa
al-Maraghi kata qsW֏s? artinya melewati batas
dalam segala hal, kemudian banyak dipakai untuk pengertian banyak merusak.[1]
Menurut Al-Assas kata qsW֏s? memiliki makna janganlah
kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.[2]
Dari kedua pendapat di atas,
kita dapat menyimpulkan bahwa kita tidak boleh melakukan kerusakan di muka bumi
ini untuk menuruti hawa nafsu diri kita pribadi. Kita diperbolehkan mencari
rezeki, namun tidak berlebihan dan merusak alamnya.
v Kandungan Ayat:
Allah Ta’ala mengingatkan orang-orang Yahudi yang hidup pada
saat turunnya al-Qur’an di Madinah akan azab dan hari-hari-Nya terhadap para
pendahulu mereka.
Pada ayat pertama, (60), Dia Ta’ala mengingatkan tatkala
mereka kehausan di padang at-Tîh, Nabi Musa memohon air kepada Rabb-nya. Lalu
Dia menurunkannya melalui perkara yang di luar kebiasaan.Hal ini sebagai tanda
kebesaran-Nya sehingga mereka dapat komitmen untuk beriman dan ta’at.Perkara
yang di luarr kebiasaan itu adalah terpancarnya air dari batu setelah dipukul
oleh Nabi Musa dengan tongkatnya.Dari batu itu, memancar air dari dua belas
tempat/lubang, yang masing-masingnya berupa sumber air yang dapat diminum oleh
setiap suku (as-Sibth) dari kedua belas suku tersebut sehingga mereka tidak
berdesak-desakan dan mendapatkan bahaya.Dengan nikmat ini, Allah telah
memuliakan mereka. Di samping itu, mereka juga dilarang berbuat kerusakan
di muka bumi yang berupa perbuatan-perbuatan maksiat
3. Q.S. Al-baqarah: 168
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
Artinya:
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”
v Tafsir Mufrodat:
Menurut Rusli Malik, kata $Y7ÍhsÛx»n=ym, artinya yang halal lagi suci. Yang halal
sudah jelas; statusnya: boleh. Lawannya, haram; statusnya: terlarang. Lalu yang
thayyibah diartikan “yang baik”, bukankah yang halal
itu secara otomatis juga “baik”.
Kata $Y7ÍhsÛx»n=ym artinya halal dan baik, ini menjelaskan
bahwa apa yang ada di bumi adalah diciptakan untuk manusia. Oleh karena itu,
makanlah apa yang sesuai dan halal bagi anda dan janganlah anda sekali-kali menghalalkan
atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil wahyu atau hadis. Karena perbuatan itu
adalah program setan untuk menyesatkan kalian. Sama seperti yang telah
dilakukan setan terhadap Nabi Adam dan Sayidah Hawa, sehingga mereka bersedia
memakan buah khuldi yang terlarang. Minum minuman keras adalah perbuatan setan
dan menjauhi benda-benda halal biasanya mengacu kepada ideologi batil dan
khurafat juga bisikan setan.
Dari kedua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
kita harus makan dan minum segala makanan dan minuman yang halal dan suci
menurut agama Islam.
v Kandungan Ayat:
Setelah Allah menyuguhkan kepada kita dua
rangkaian ayat yang membincang soal hubungan kepengikutan (antara pengikut dan
yang diikuti), tiba-tiba Dia meminta kepada seluruh manusia untuk berhati-hati
dalam hal makanan.Ini pasti bukan kebetulan.Juga pasti bukan tak punya hubungan
dengan ayat-ayat sebelumnya. Kalau kita cermati, Allah
punya pesan yang sangat jelas di ayat ini: jikalau hubungan kepengikutan tidak
mengikuti akal sehat dan tuntunan Kitab Suci, maka pasti mengikuti tuntunan
“perut”. Saat kepengikutan tak lagi memiliki aspek-aspek teologisnya, dengan
serta-merta berubah menjadi soal “makanan” dan “piring”.
Orang memilih pemimpin atau imam tak lagi berfikir apa konsekuenasi
akhiratnya, tetapi apa yang mereka dapat dengan menjadi pengikutnya. Dan para
Khalifah Duniawi tahu persis ini, sehingga menjadikannya bahan permainan
kekuasaan.Mereka tahu bahwa manusia paling mudah disandra melalui perutnya.
Mereka membagikan setetes keuntungan politiknya kepada ‘ulama’ dan ‘mufti’
(pemilik otoritas untuk berfatwa) dalam berbagai bentuk fasilitas yang
memungkinkan ‘ulama’ dan ‘mufti’ tersebut hidup layak dan menjadi
tokoh ‘panutan’. ‘Ulama’ dan ‘mufti’ inilah nantinya yang menjadi
tameng opini bagi Sang Khalifah sehingga serangan publik tak pernah mendarat
langsung di wajahnya. Caranya; menyembunyikan ayat-ayat Allah yang berkenaan
dengan Khalifah Ilahi yang sesungguhnya seraya ‘memperhalus’ atau bahkan
‘membelokkan’ makna ayat-ayat yang mengecam para Khalifah Duniawi. “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab
Suci dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya
tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak
akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka
dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (2:174)
Dampak selanjutnya dari perbuatan ‘ulama’ dan ‘mufti’
bayaran ini ialah terpecah-belahnya umat ke dalam berbagai kelompok.
Penyebabnya; tiap datang Khalifah Duniawi yang baru selalu punya keinginan dan
hasrat politik yang berbeda sebagaimana berbedanya gaya kepemimpinan mereka.
Sehingga ‘ulama’ dan ‘mufti’ pun “dipaksa” menyesuaikan fatwa dan
opini keagamaan mereka masing-masing, kendati subjek bahasannya sama. Setiap
jenis fatwa dan opini ini melahirkan komunitas pengikutnya sendiri-sendiri.
Lahirlah mazhab-mazhab (golongan-golongan).Bergemalah suara-suara, Muncullah
ketegangan-ketegangan, Bergandalah masjid-masjid, Akibatnya; kekuatan politik
umat tercerai-berai menjadi sebanyak langgar-langgar. Sehingga tidak ada lagi
kedamaian di surau-surau, yang ada ialah kebisingan pendapat-pendapat. Para
Khalifah Duniawi tinggal menebar jala, menuai keuntungan besar, cukup dengan
menerapkan manajemen konflik dari kursi goyangnya sambil mengisap cerutu
impornya.
4. QS.
Al-Maidah: 87-88:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 wur (#ÿrßtG÷ès? 4 cÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ (#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ cqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(87) Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
v
Tafsir
Mufrodat:
Menurut
Musthafa al-Maraghi kata M»t6ÍhsÛ artinya adalah perkara yang dinikmati oleh
diri dan dicendrungi oleh hati. Maksudnya janganlah kita mengharamkan atas diri
sendiri apa yang telah Allah halalkan bagi kita hal yang baik-baik, seperti
dengan sengaja kita meninggalkannya dengan maksud beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah.[3]
Menurut Ibnu
Atiyyah, kata M»t6ÍhsÛ berarti makanan yang enak,
terbukti disandarkan pada ahalla. Maksudnya jangan meyakini haramnya sesuatu yang halal. Sebab hal
itu menjadikan kekufuran. Adapun meninggalkan ladzat dunia tanpa membahayakan
diri dan mengganggu hak orang lain, maka ini terpuji.
v Asbabun Nuzul:
1. Ibnu
Abbas meriwayatkan bahwa ada seseorang berkata pada Nabi saw: sesungguhnya jika
aku makan daging, akan tergerak syahwatku pada wanita. Maka aku haramkan makan
daging. Kemudian turunlah ayat ini (Q.S. 5 Al-Maidah:87)
2. Ibnu
Abbas juga mengisahkan bahwa ada beberapa sahabat yang bersumpah: kami akan
memotong kelamin, meninggalkan dunia, dan mengembara sebagaimana ruhbân.
Kemudian sampai pada Nabi dan beliau bersabda: tapi aku puasa, tidur, dan
menikah. Barang siapa membenci sunnahku, bukan ummatku. (Ad-Dur)
3. Abdullah
bin Rawahah bercerita saat istrinya tidak menyuguhi tamu lantaran menunggunya,
lalu dia berkata: celaka kamu, kenapa harus menungguku. Aku bersumpah, makanan
ini haram untukku. Istri dan tamu juga bersumpah sepertinya. Lalu dia mengajak
mereka makan. Kemudian paginya beliau bercerita pada Nabi dan beliau bersabda:
ahsanta: Kamu baik. (Ibnu Atiyyah).
4. Anas
bercerita: beberapa sahabat datang ke rumah istri Nabi dan bertanya amal
beliau. Setelah mereka tahu, mereka berjanji tidak menikah, dan tidak tidur.
Saat Nabi tahu, beliau melarangnya. (Al-Bukhari, Ibnu Katsir).
v Kandungan Ayat:
Kalau Islam mencela sikap orang-orang yang suka
menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu
kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang
sangat berat, kerana memandang, bahawa hal ini akan merupakan suatu
pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya
oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut
memang kerana ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama
yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan
berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan
mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, iaitu
sebagaimana sabdanya: “Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang
berlebih-lebihan itu.”(3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan: “Saya diutus
dengan membawa suatu agama yang toleran.” (Riwayat Ahmad) Yakni suatu agama
yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan
dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan
mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w.
dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini
dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka.
Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas
mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya
mereka mahu menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya.” (Riwayat Muslim)
Oleh kerana itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan
dengan syirik. Dan justru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap
orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang
sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan
binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka
telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima),
saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang
telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk
ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta
betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta
tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka
peruntukkan buat berhalanya.kerana itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan
dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah
yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari
sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis
seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan
saibah. Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya
itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat
berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan:
Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh kerana itu yang jantan tidak
disembelih kerana diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut
washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka
katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak
dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya.Binatang seperti ini disebut
al-Haami.Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak
sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut.
Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak
menganggap sebagai suatu alasan kerana taqlid kepada nenek-moyangnya dalam
kesesatan ini. Firman Allah: “Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah,
saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas
(nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mahu berfikir. Dan apabila
dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada
Rasul, maka mereka menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada
nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun
nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?”
(al-Maidah : 103-104)
Dalam surah al-An’am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap
prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta,
sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.
Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang
cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga. Kata al-Quran: “Ada
lapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan
ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang
diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan
yang betina kedua-duanya? (Cubalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil,
jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan
dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang
jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?” (al-An’am:
143-144)
Di surah al-A’raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu
penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan
semahunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa dasar
binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut: “Katakanlah!Siapakah
yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada
hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang
tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan
atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (al-A’raf:
32-33)
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang
diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat
kelak.Ini membuktikan, bahawa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran,
bukan termasuk dalam kategori cabang atau bahagian, tetapi termasuk
masalah-masalah dasar dan kulli.
Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada
orang-orang yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan
mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah
menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas
ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan yang lempang
5. Q.S. Al- Jumu’ah: 10
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya:
“Apabila
Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
v
Tafsir mufradat
Menurut Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi dalam bukunya Terjemahan Tafsir Al-Maraghi kata @ôÒsù`ÏB artinya “untuk
mencari rezki Allah”, Bahwa kita tidak disuruh oleh agama Islam meninggalkan
pekerjaan (perusahaan) pada hari jum’at,
melainkan sekedar untuk mengerjakan salat jum’at dan mendengar khutbah
saja. Selain dari pada itu kita boleh bekerja seperti pada hari yang lain di seluruh muka bumi.[4]
melainkan sekedar untuk mengerjakan salat jum’at dan mendengar khutbah
saja. Selain dari pada itu kita boleh bekerja seperti pada hari yang lain di seluruh muka bumi.[4]
v
Isi kandungan
Pada ayat yang ke 10 ,
ditegaskan apabila ibadah sholat telah dilaksanakan, maka kita dipersilahkan
untuk melanjutkan aktivitas lagi untuk mencari karunia Allah. Hal ini memberi
pengertian bahwa kita tidak boleh malas karena rizki Allah tidak datang dengan
sendirinya. Potensi akal dan pikiran yang dimiliki oleh manusia hendaknya
menjadi modal utama untuk meningkatkan produktivitas kerja secara inovatif,
agar hidupnya lebih berkualitas. Adapun cara meningkatkan produktivitas kerja
dapat dilakukan dengan:
a. Rajin, ulet dan tidak mudah berputus asa
b. Meningkatkan inovasi
dan kreativitas
c. Belajar dari
pengalaman untuk berbuat lebih baik di masa yang akan dating
d. Memaksimalkan kemampuan
diri dan selalu optimis
e. Berdo'a dan
bertawakal kepada Allah.
6.
MUNASABAH ANTAR AYAT
Munasabah antara ayat
al-Maidah, al-Baqarah, al-Anbiya, dan Al- Jumu’ah yaitu Allah mengutus Nabi
Muhammad SAW sebagai Rahmat bagi Manusia agar berbahagia di dunia dan akhirat
dengan ketentuan kita harus beriman kepada Allah, melaksanakan apa yang
diperintahkan dan menjauhi larangan-Nya.
Allah juga telah menciptakan
rezeki di muka bumi yang melimpah untuk dicari dan di manfaatkan oleh manusia.
Kita memang di haruskan beribadah kepada-Nya, namun tidak pula lupa untuk
bekerja keras demi kehidupan yang layak. Selain itu, Allah telah memberikan
batasan segala hal yang halal dan haram, kita harus memilih segala hal yang
halal untuk kita makan dan meninggalkan segala yang haram agar terhindar dari
godaan syaitan, karena syaitan selalu menggoda manusia untuk melakukan dan
memakan hal yang haram. Dengan begitu hidup manusia akan bahagia di dunia dan
akhirat, di dunia berkecukupan dan di akhirat mendapatkan kebahagiaan yaitu
masuk surga.
0 komentar: